Monday, May 8, 2017

TAFSIR DEPAG MENGENAI AYAT-AYAT SIKAP DAN PERILAKU KONSUMEN

BAB II
ISI
A.                TAFSIR DEPAG MENGENAI AYAT-AYAT SIKAP DAN PERILAKU     KONSUMEN
1.      Al-Baqarah : 168
·         Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah : 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sa'sa'ah, Khuza'ah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri, memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Padahal Allah tidak mengharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakannya dalam firman-Nya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ 


Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah; itu adalah suatu kefasikan. (Q.S Al Ma'idah: 3)
Karena itu selain dari yang tersebut dalam ayat ini boleh dimakan, sedangkan bahirah dan wasilah itu tidak tersebut di dalam ayat itu. Memang ada beberapa ulama berpendapat bahwa di samping yang tersebut dalam ayat itu, adalagi yang diharamkan memakannya berdasarkan hadis Rasulullah saw. seperti memakan binatang yang bertaring tajam atau bercakar kuat, tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa memakan binatang-binatang tersebut hanya makruh saja hukumnya.
Allah menyuruh manusia memakan yang baik sedang makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri halal dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surat Al-Maidah dan dalam ayat 173 surat al-baqarah.
Adapun selain dari yang diharamkan Allah itu dan selain yang tersebut dalam hadis sesuai dengan pendapat sebagian ulama adalah halal, boleh dimakan. Kabilah-kabilah itu hanya mengharamkan beberapa jenis tanaman dan binatang berdasarkan hukum yang mereka tetapkan dengan mengikuti tradisi yang mereka pusakai dari nenek moyang mereka dan karena memperturutkan hawa nafsu dan kemauan setan belaka. Janganlah kaum muslimin mengikuti langkah-langkah setan itu, karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.
·         Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Ayat berikut ini turun tentang orang-orang yang mengharamkan sebagian jenis unta/sawaib yang dihalalkan, (Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dari apa-apa yang terdapat di muka bumi) halal menjadi 'hal' (lagi baik) sifat yang memperkuat, yang berarti enak atau lezat, (dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah) atau jalan-jalan (setan) dan rayuannya (sesungguhnya ia menjadi musuh yang nyata bagimu) artinya jelas dan terang permusuhannya itu.

2.      Al-Maidah : 87
·         Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Maa-idah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Pada ayat ayat ini Allah swt. menunjukkan firman-Nya kepada kaum muslimin, yaitu melarang mereka mengharamkan bagi diri mereka segala yang baik yang telah dihalalkan-Nya seperti makanan, minuman, pakaian, pernikahan dan lain-lainnya yang baik dan halal.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan beberapa orang sahabat yang keliru dalam memahami dan melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam. Mereka mengira, bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. harus melepaskan diri dari segala macam kenikmatan duniawi, karena mereka berpendapat, bahwa kenikmatan itu hanya akan melalaikan mereka beribadat kepada Allah. Padahal Allah swt. telah menciptakan dan menyediakan di muka bumi ini barang-barang yang baik, yang dihalalkan-Nya untuk mereka. Dan di samping itu, Dia telah menjelaskan pula apa-apa yang diharamkan-Nya.
Akan tetapi, walaupun Allah swt. telah menyediakan dan menghalalkan barang-barang yang baik bagi hamba-Nya, namun haruslah dilakukan menurut cara yang telah ditentukan-Nya. Maka firman Allah dalam ayat ini melarang hamba-Nya dari sikap dan perbuatan yang melampaui batas. Perbuatan yang melampaui batas dalam soal makanan, misalnya, dapat diartikan dengan dua macam pengertian. Pertama seseorang tetap memakan makanan yang baik, yang halal, akan tetapi ia berlebih-lebihan memakan makanan itu, atau terlalu banyak. Padahal makan yang terlalu kenyang adalah merusak kesehatan, alat-alat pencernaan dan mungkin merusak pikiran. Dana dan dayanya tertuju kepada makanan dan minuman, sehingga kewajiban-kewajiban lainnya terbengkalai, terutama ibadahnya. Pengertian yang kedua ialah bahwa seseorang telah melampaui batas dalam hal macam makanan yang dimakannya, dan minuman yang diminumnya, tidak lagi terbatas pada makanan yang baik dan halal, bahkan telah melampauinya kepada yang merusak dan berbahaya, yang telah diharamkan oleh agama. Kedua hal itu tidak dibenarkan oleh ajaran agama Islam.
Pada akhir ayat tersebut Allah swt. memperingatkan kepada hamba-Nya, bahwa Dia tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas. Ini berarti bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan haruslah selalu dalam batas-batas tertentu, baik yang ditetapkan oleh agama, seperti batas halal dan haramnya, maupun batas-batas yang dapat diketahui oleh akal, pikiran dan perasaan, misalnya batas mengenal banyak sedikitnya serta manfaat dan mudaratnya.
Suatu hal yang perlu kita ingat ialah prinsip yang terdapat dalam Syariat Islam, bahwa apa-apa yang dihalalkan oleh agama adalah karena ia bermanfaat dan tidak berbahaya; sebaliknya apa-apa yang diharamkannya adalah karena ia berbahaya dan tidak bermanfaat atau karena bahayanya lebih besar daripada manfaatnya.
Oleh sebab itu tidaklah boleh mengubah-ubah sendiri hukum-hukum agama yang telah ditetapkan Allah swt. dan Rasul-Nya. Allah swt. Maha Mengetahui apa-apa yang baik dan bermanfaat bagi hamba-Nya dan apa yang berbahaya bagi mereka. Dan Dia Maha Pengasih terhadap mereka.



3.      Al-Israa : 29
·         Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Israa' 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Kemudian Allah SWT menjelaskan cara-cara yang baik dalam membelanjakan harta, yaitu Allah SWT melarang orang menjadikan tangannya terbelenggu pada leher. Ungkapan ini adalah lazim dipergunakan oleh orang-orang Arab, yang berarti larangan berlaku bakhil. Allah melarang orang-orang yang bakhil, sehingga enggan memberikan harta kepada orang lain, walaupun sedikit. Sebaliknya Allah juga melarang orang yang terlalu mengulurkan tangan, ungkapan serupa ini berarti melarang orang yang berlaku boros membelanjakan harta, sehingga belanja yang dihamburkannya melebihi kemampuan yang dimilikinya. Akibat orang yang semacam itu akan menjadi tercela, dan dicemoohkan oleh handai-tolan serta kerabatnya dan menjadi orang yang menyesal karena kebiasaannya itu akan mengakibatkan dia tidak mempunyai apa-apa.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa cara yang baik dalam membelanjakan harta ialah membelanjakannya dengan cara yang layak dan wajar, tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros.
Adapun keterangan-keterangan yang didapat dari hadis-hadis Nabi dapat dikemukakan sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan ahli hadis yang lain, dari Ibnu Abbas ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
ما عال من اقتصد
Artinya:
"Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat".
Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw bersabda:
الإقتصاد في النفقة نصف المعيشة
Artinya:
Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, separoh dari penghidupan.





·         Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Israa' 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
artiya : “(Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu) artinya janganlah kamu menahannya dari berinfak secara keras-keras; artinya pelit sekali (dan janganlah kamu mengulurkannya) dalam membelanjakan hartamu (secara keterlaluan, karena itu kamu menjadi tercela) pengertian tercela ini dialamatkan kepada orang yang pelit (dan menyesal) hartamu habis ludes dan kamu tidak memiliki apa-apa lagi karenanya; pengertian ini ditujukan kepada orang yang terlalu berlebihan di dalam membelanjakan hartanya.

B. TAFSIR AL-MISBAH MENGENAI AYAT-AYAT SIKAP DAN PERILAKU KONSUMEN
1.      Al-Baqarah : 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Tidak semua yang ada didunia ini otomatis halal untuk dimakan atau digunakan. Allah menciptakan ular berbisa bukan untuk dimakan, tetapi antara lain untuk digunakan biasanya sebagai obat, ada burung burung yang diciptakan Nya untuk memakan serangga yang merusak tanaman ,dengan demikian tidak semua yang diciptakannya untuk dimakan manusia, walau semua yg diciptakannya untuk kepentingan mausia, karena itu allah memerintahkan untuk memakan yang halal saja.
Makanan halal adalah makanan yang tidak haram, pada ayat ini menjelaskan bahwa perintah kepada seluruh manusia untuk tidak memakan makanan yang haram. Namun demikian tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Karena yang dinamakan halal ada 4 macam wajib, sunah, mubah, dan makruh.
Ada halal yang baik menurut si A yangis sesuai dengan kondisi tertentunya. Ada yang kurang baik untuknya dan baik buat orang lain,. Ada makanan yang halal tetapi tidak bergizi. Yang diperintahkan adalah yang halal lagi baik.


2.      Al-Maidah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Ulama tidak melihat adanya hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Tetapi al-Biqa’I yang menekuni bahasan hubungan antar ayat menulis bahwa setelah dalam ayat yang lalu Allah memujirahbah atau rasa takut kepada Allah  yang mendorong upaya menjauhkan diri dari gemerlapan duniawi, karena memang hal ini baik, tetapi lanjut Al-Biqa’I dalam prakteknya sering kali pelakunya terlalu ketat sampai-sampai meninggalkan yang mubah (dibolehkan) padahal manusia adalah makhluk lemah, sehingga sering kali kelemahan menghadapi keketatan itu mengantar kepada kegagalan bersama. Itu sebabnya Islam datang , melarang pengetatan beragama seperti itu, dengan menganjurkan moderasi – tidak melebihkan tidak juga mengurangi. Dalam konteks itulah setelah menyinggung para ruhban yang meninggalkan gemerlapan duniawi, bahkan mengharamkan atas diri meraka sekian banyak hal yang mubah atau halal, ayat ini datang berpesan kepada orang-orang beriman : hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan, menghalangi diri kamu dengan jalan bernadzar, atau sumpah, atau apa saja untuk melakukan apa-apa yang baik, indah, lezat, atau nyaman yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu memaksakan dirimelampaui batas kewajaran, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai yakni tidak melimpahkan rahmat dan ganjaran-Nya kepada orang-orang yang melampaui batas, walaupun pelampauan batas itu berkaitan dengan upaya mendekatkan diri kepada-Nya, sebagaimana halnya orang-orang Nasrani yang melakukan rahbaniyah dengan mengharamkan apa yang halal.
Ath-Thabari dan al-Wahidi meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kedatangan seseorang kepada Nabi SAW. Sambil berkata : “kalau saya makan daging, lalu saya terus akan ‘mendatangi’ wanita-wanita, maka saya mengharamkan atas diri saya daging”. Ayat ini turun meluruskan pandangannya itu. Riwayat ini ditemukan juga dalam sunan at-Tirmidzi. Riwayat lain yang sejalan dengan makna riwayat diatas menyatakan bahwa sejumlah sahabat Nabi SAW berkumpul untuk membandingkan amal-amal mereka dengan amal-amal Nabi SAW., dan akhirnya mereka berkesimpulan untuk melakukan amalan-amalan yang berat. Ada yang ingin shalat semalam suntuk, ada yang tidak akan menggauli wanita, dan ada juga yang akan berpuasa terus menerus. Mendengar rencana itu Nabi SAW menegur mereka sambil bersabda : “sesungguhnya aku adalah yang paling bertakwa diantara kalian, tapi aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa tetapi juga berbuka, dan aku kawin. Barang siapa yang enggan mengikuti sunnahku (cara hidupku), maka bukanlah ia dari kelompok (umat)ku” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Anas Ibn Malik)
Firman-Nya la ta’tadu / jangan melampaui batas dengan bentuk kata yang menggunakan huruf ta’ bermakna keterpaksaan, yakni diluar batas yang lumrah. Ini menunjukkan bahwa fitrah manusia mengarah kepada moderasi dalam arti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang wajar tidak berlebih dan tidak juga berkurang. Setiap pelampauan batas adalah semacam pemaksaan terhadap fitrah dan pada dasarnya berat, atau risih melakukannya. Inilah yang di isyaratkan olehta’tadu.
Larangan melampaui batas ini, dapat juga berarti bahwa menghalalkan yang haram, atau sebaliknya, merupakan pelampauan batas kewenangan, karena hanya Allah SWT yang berwenang menghalalkan dan mengharamkan. Pada masa jahiliyah kaum musyrikin mengatasnamakan Allah mengharamkan sekian banyak hal yang halal, sebagaimana akan terbaca dalam surah al-an’am. Itu agaknya yang menjadi alasan sehingga ayat in dimulai dengan panggilan ya ayyuhaalladzinan amanukarena penghalalan dan pengharaman seperti itu bertentangan dengan keimanan. Selanjutnya, karena itu pula sehingga ayat berikut yang Masih berkaitan erat dengan ayat ini memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah SWT karena orang-orang mukmin selalu bertaqwa kepada-Nya, dengan mengikuti apa yang diperintahkan-Nya, menjauhi larangan-Nya, menghalalkan apa yang halal dan mengharamkan yang haram.
3.      Al-israa : 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Dan janganlah engkau enggan mengulurkan tanganmu untuk kebaikan seakan akan engkau jadikan tanganmu terbelenggu dengan belenggu kuat yang terikat ke lehermu sehingga engkau tak dapat menhulurkannya dan janganlah juga engkau terlalu mengulurkannya sehingga berlebih lebihan karena itu  menjadikanmu duduk tidak dapat berbuat apa apa lagi tercela oleh dirimu sendiri atau orang lain karena boros, berlebih lebihan dan menyesal tidak memiliki kemampuan karena telah kehabisan harta.
            Kata mashuran terambil dari kata hasara yang berarti tidak berbusana, telanjang aatau todak tertutup. Seseorang yang tidak memakai tutup kepala dinamai hasiru ar ras. seseorang yang keadaannya tertutup dari segi rezeki adalah yang memiliki kecukupan sehingga  ia tidak perlu berkunjung kepada orang lain dan menampakkan diri untuk meminta, karena itu berarti ia membuka kekurangan aibnya.
            Ada juga ulama yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata hasir yang digunakan untuk binatang yang tidak mampu berjalan, sehingga mandek tinggal ditempat. Demikian juga pemboros, pada akhirnya akan mandek dan tidak mampu melakukan aktivitas, baik untuk dirinya sendiri apalgi orang lain sehingga terpaksa hidup tercela.
            Ayat ini menjelaskan salah satu hikmah yang sangat luhur , yakni kebajikan yang merupakan pertengahan antara dua ekstrim. Keberanian adalah pertengahan antara kecerobohan dan sifat pengecut. Kedermawanan adalah pertengaahn antar pemboroosan dengan kekikiran.
Sementara ulama menjadikan kata maluman/tercela merupakan dampak dari kekikiran, sedang mahsuran/tidak memiliki kemampuan adalah dampak dari pemborosan.
B.                      AYAT AYAT LAIN TENTANG SIKAP DAN PERILAKU PRODUSEN
Allah SWT dalam firman-Nya dalam Al – Qur’an surat Al Israa' ayat 26 & 27
Artinya : Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Artinya : Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Dari kedua ayat diatas dapat disimpulkan bahwa seorang konsumen muslim tidak perlu mengeluarkan semua pendapatan bersihnya untuk semua barang dan jasa.


C.                       
BAB III
KESIMPULAN
Pada sikap dan perilaku konsumen yang harus kita lakukan sesuai ajaran islam kitab kita Al qur’an adalah
·      Memakan yang halal lagi baik untuk kesehaatannya
·      Dapat membedakan mana yang halal dan yang haram
·      Konsumen dengan tidak konsumsi berlebih lebihan
·      larangan berlaku bakhil.
·      Tidak berlaku boros membelanjakan harta
·      Dilarang menghalangi diri dengan jalan bernadzar, atau sumpah.
·      Tidak mengharamkan apa yang dihalalkannya
·      Keberanian adalah pertengahan antara kecerobohan dan sifat pengecut.
·      Kedermawanan adalah pertengaahn antar pemboroosan dengan kekikiran.
·      mengharuskan makanan yang baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor atau pun menjijikan sehingga merusak selera. Makan dan minumlah dari semua yang bersih dan bermanfaat. Baik bersih dari segi hukumnya yaitu yang halal, dari segi makanannya harus higienis dan bergizi, maupun bersih dalam mendapatkannya.
·      Seorang konsumen muslim tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi barang dan jasa, tetapi juga kepuasan yang diperintahkan oleh Allah SWT juga harus kita penuhi sebagai seorang muslim yang bertaqwa. Hal ini berarti kepuasan seorang muslim tidak hanya sebagai fungsi jumlah barang yang dikonsumsi tetapi juga sebagai fungsi dari sedekah.
·      seorang muslim dilarang mengkonsumsi barang yang diharamkan oleh islam seperti alkohol, daging babi, berjudi dan lain sebagainya.
·      Seorang muslim dilarang menerima atau membayar bunga dari berbagai pinjaman.
·      Seorang konsumen muslim harus juga memperhitungkan konsumsinya


·      Kepemilikan, perbedaan
·      Riba macam maacam, definisi
·      Harta dan zakat
·      Sikap dan perilaku konsumen
Diposkan oleh Muhammad Arief Muliadi di 22.32



Makan dan Minum Secukupnya
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ حَسْبُ الْآدِمِّي لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ غَلَبَتْ الْآدَمِيِّ نَفْسُهُ فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ.
Artinya:
Rasulullah SAW bersabda:” Anak Adam tidak mengisi penuh suatu wadah yang lebih jelek dari perut,cukuplah bagi mereka itu beberapa suap makan yang dapat menegakan punggungnya, apabila kuat keinginannya maka jadikanlah sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, sepertiga untuk dirinya atau udara.”[9]


Koreksi Hadits: Makan Sebelum Lapar, Berhenti Sebelum Kenyang

Posted by Fadhl Ihsan
Kami tidak mengetahui mengenai keabsahan hadits ini, yaitu hadits:
‏ ﻧَﺤْﻦُ ﻗَﻮْﻡٌ ﻻَ ﻧَﺄْﻛُﻞُ ﺣَﺘَّﻰ ﻧَﺠُﻮْﻉَ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺃَﻛَﻠْﻨَﺎ ﻻَ ﻧَﺸْﺒَﻊُ‏
“Kami adalah kaum yang tidak makan sampai kami lapar dan jika kami makan maka kami tidak (sampai) kenyang.”
Ucapan ini biasa didengar dari sebagian tamu padahal di dalam sanadnya terdapat kelemahan. Mereka (sebagian tamu) biasa mengatakan: Dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,
“Kami adalah kaum yang tidak makan sampai kami lapar dan jika kami makan maka kami tidak (sampai) kenyang.”
Maksudnya mereka ini makan secara sederhana. Makna hadits ini benar akan tetapi ada kelemahan di dalam sanadnya. [Sisi kelemahannya bisa dilihat dalam Zaad Al-Ma’ad dan Al-Bidayah karya Ibnu Katsir]
Amalan seperti ini baik untuk (tubuh) manusia, yaitu jika dia makan karena sudah lapar atau memang butuh untuk makan. Jika dia makan, maka dia tidak berlebihan dalam makan dan tidak sampai kenyang yang berlebih. Adapun jika kenyangnya tidak memudharatkan dirinya maka itu tidak mengapa.
Orang-orang di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam dan zaman selainnya, mereka makan dan mereka kenyang. Hanya saja yang dikhawatirkan (mendatangkan mudharat) adalah kekenyangan yang berlebihan. Nabi shallallahu alaihi wasallam pada sebagian kesempatan pernah diundang untuk menghadiri walimah (resepsi pernikahan), beliau juga sering menjamu tamu dan menyuruh mereka makan, lalu mereka pun makan sampai mereka kenyang. Kemudian setelah itu barulah beliau dan para sahabat yang tersisa ikut makan.
Di zaman beliau shallallahu alaihi wasallam diriwayatkan bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari pernah mengundang Nabi shallallahu alaihi wasallam -pada hari Al-Ahzab yaitu hari perang Khandaq- untuk menyantap hidangan berupa hewan sembelihan yang kecil yang disantap bersama dengan sedikit gandum. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk memotong roti (gandum) dan daging tersebut, lalu beliau memanggil para sahabat sepuluh-sepuluh orang untuk makan. Maka mereka pun makan sampai mereka kenyang kemudian mereka pergi, kemudian datang lagi 10 orang berikutnya, dan demikian seterusnya. Maka Allah memberkahi gandum dan daging tersebut, sehingga semua sahabat yang jumlahnya banyak waktu itu bisa makan seluruhnya, namun tetap saja masih banyak makanan yang tersisa sehingga mereka membaginya kepada tetangga-tetangga mereka.
Pada suatu hari Nabi shallallahu alaihi wasallam juga pernah memberi minum susu kepada ahlu ash-shuffah (para sahabat yang tinggal di masjid, pent.). Abu Hurairah berkata, “Maka aku memberikan minum kepada mereka sampai hilang dahaga mereka. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Minumlah wahai Abu Hurairah,” Abu Hurairah menjawab, “Saya sudah minum.” Kemudian beliau bersabda, “Minum lagi,” maka saya kembali minum. Kemudian beliau bersabda, “Minum lagi,” maka saya minum lagi. Kemudian saya berkata, “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, saya sudah tidak kuat lagi (untuk minum).” Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam mengambil minuman yang tersisa lalu beliau alaihishshalatu wassalam minum.”
Hal ini menunjukkan bolehnya kenyang dalam makan dan minum, hanya saja jangan sampai dalam taraf membahayakan.
[Fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baaz ini diterjemah dari:http://www.ibnbaz.org.sa/mat/38%5D


No comments:

Post a Comment

CONTOH SURAT OBSERVASI

S A N K E R T A PONDOK PESANTREN AL-INAYAH Jl. Lesmana Desa Perintis Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo DESA                   ...