BAB II
ISI
A. TAFSIR
DEPAG MENGENAI AYAT-AYAT SIKAP DAN
PERILAKU KONSUMEN
1. Al-Baqarah
: 168
· Tafsir
/ Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah : 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا
طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ
Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu.”
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun
mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sa'sa'ah,
Khuza'ah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri,
memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah
beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan
wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina lalu
anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala.
Padahal Allah tidak mengharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan telah
menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakannya dalam firman-Nya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا
بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah; itu adalah suatu kefasikan. (Q.S Al Ma'idah: 3)
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah; itu adalah suatu kefasikan. (Q.S Al Ma'idah: 3)
Karena itu selain dari
yang tersebut dalam ayat ini boleh dimakan, sedangkan bahirah dan wasilah itu
tidak tersebut di dalam ayat itu. Memang ada beberapa ulama berpendapat bahwa
di samping yang tersebut dalam ayat itu, adalagi yang diharamkan memakannya
berdasarkan hadis Rasulullah saw. seperti memakan binatang yang bertaring tajam
atau bercakar kuat, tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa memakan
binatang-binatang tersebut hanya makruh saja hukumnya.
Allah menyuruh manusia
memakan yang baik sedang makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang
ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri halal
dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan
beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surat
Al-Maidah dan dalam ayat 173 surat al-baqarah.
Adapun selain dari yang
diharamkan Allah itu dan selain yang tersebut dalam hadis sesuai dengan
pendapat sebagian ulama adalah halal, boleh dimakan. Kabilah-kabilah itu hanya
mengharamkan beberapa jenis tanaman dan binatang berdasarkan hukum yang mereka
tetapkan dengan mengikuti tradisi yang mereka pusakai dari nenek moyang mereka
dan karena memperturutkan hawa nafsu dan kemauan setan belaka. Janganlah kaum
muslimin mengikuti langkah-langkah setan itu, karena setan itu adalah musuh
yang nyata bagi manusia.
· Tafsir
/ Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Ayat berikut ini turun
tentang orang-orang yang mengharamkan sebagian jenis unta/sawaib yang
dihalalkan, (Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dari apa-apa yang
terdapat di muka bumi) halal menjadi 'hal' (lagi baik) sifat yang memperkuat,
yang berarti enak atau lezat, (dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah) atau
jalan-jalan (setan) dan rayuannya (sesungguhnya ia menjadi musuh yang nyata
bagimu) artinya jelas dan terang permusuhannya itu.
2. Al-Maidah
: 87
· Tafsir
/ Indonesia / DEPAG / Surah Al Maa-idah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang
telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Pada ayat ayat ini Allah
swt. menunjukkan firman-Nya kepada kaum muslimin, yaitu melarang mereka
mengharamkan bagi diri mereka segala yang baik yang telah dihalalkan-Nya
seperti makanan, minuman, pakaian, pernikahan dan lain-lainnya yang baik dan
halal.
Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan beberapa orang sahabat yang keliru dalam memahami dan
melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam. Mereka mengira, bahwa untuk mendekatkan
diri kepada Allah swt. harus melepaskan diri dari segala macam kenikmatan
duniawi, karena mereka berpendapat, bahwa kenikmatan itu hanya akan melalaikan
mereka beribadat kepada Allah. Padahal Allah swt. telah menciptakan dan
menyediakan di muka bumi ini barang-barang yang baik, yang dihalalkan-Nya untuk
mereka. Dan di samping itu, Dia telah menjelaskan pula apa-apa yang
diharamkan-Nya.
Akan tetapi, walaupun Allah
swt. telah menyediakan dan menghalalkan barang-barang yang baik bagi hamba-Nya,
namun haruslah dilakukan menurut cara yang telah ditentukan-Nya. Maka firman
Allah dalam ayat ini melarang hamba-Nya dari sikap dan perbuatan yang melampaui
batas. Perbuatan yang melampaui batas dalam soal makanan, misalnya, dapat
diartikan dengan dua macam pengertian. Pertama seseorang
tetap memakan makanan yang baik, yang halal, akan tetapi ia berlebih-lebihan
memakan makanan itu, atau terlalu banyak. Padahal makan yang terlalu kenyang
adalah merusak kesehatan, alat-alat pencernaan dan mungkin merusak pikiran.
Dana dan dayanya tertuju kepada makanan dan minuman, sehingga
kewajiban-kewajiban lainnya terbengkalai, terutama ibadahnya. Pengertian
yang kedua ialah bahwa seseorang telah melampaui batas
dalam hal macam makanan yang dimakannya, dan minuman yang diminumnya, tidak
lagi terbatas pada makanan yang baik dan halal, bahkan telah melampauinya
kepada yang merusak dan berbahaya, yang telah diharamkan oleh agama. Kedua hal
itu tidak dibenarkan oleh ajaran agama Islam.
Pada akhir ayat tersebut Allah swt. memperingatkan kepada hamba-Nya, bahwa Dia tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas. Ini berarti bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan haruslah selalu dalam batas-batas tertentu, baik yang ditetapkan oleh agama, seperti batas halal dan haramnya, maupun batas-batas yang dapat diketahui oleh akal, pikiran dan perasaan, misalnya batas mengenal banyak sedikitnya serta manfaat dan mudaratnya.
Suatu hal yang perlu kita ingat ialah prinsip yang terdapat dalam Syariat Islam, bahwa apa-apa yang dihalalkan oleh agama adalah karena ia bermanfaat dan tidak berbahaya; sebaliknya apa-apa yang diharamkannya adalah karena ia berbahaya dan tidak bermanfaat atau karena bahayanya lebih besar daripada manfaatnya.
Pada akhir ayat tersebut Allah swt. memperingatkan kepada hamba-Nya, bahwa Dia tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas. Ini berarti bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan haruslah selalu dalam batas-batas tertentu, baik yang ditetapkan oleh agama, seperti batas halal dan haramnya, maupun batas-batas yang dapat diketahui oleh akal, pikiran dan perasaan, misalnya batas mengenal banyak sedikitnya serta manfaat dan mudaratnya.
Suatu hal yang perlu kita ingat ialah prinsip yang terdapat dalam Syariat Islam, bahwa apa-apa yang dihalalkan oleh agama adalah karena ia bermanfaat dan tidak berbahaya; sebaliknya apa-apa yang diharamkannya adalah karena ia berbahaya dan tidak bermanfaat atau karena bahayanya lebih besar daripada manfaatnya.
Oleh sebab itu tidaklah
boleh mengubah-ubah sendiri hukum-hukum agama yang telah ditetapkan Allah swt.
dan Rasul-Nya. Allah swt. Maha Mengetahui apa-apa yang baik dan bermanfaat bagi
hamba-Nya dan apa yang berbahaya bagi mereka. Dan Dia Maha Pengasih terhadap
mereka.
3. Al-Israa
: 29
· Tafsir
/ Indonesia / DEPAG / Surah Al Israa' 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى
عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya
: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Kemudian Allah SWT
menjelaskan cara-cara yang baik dalam membelanjakan harta, yaitu Allah SWT
melarang orang menjadikan tangannya terbelenggu pada leher. Ungkapan ini adalah
lazim dipergunakan oleh orang-orang Arab, yang berarti larangan berlaku bakhil.
Allah melarang orang-orang yang bakhil, sehingga enggan memberikan harta kepada
orang lain, walaupun sedikit. Sebaliknya Allah juga melarang orang yang terlalu
mengulurkan tangan, ungkapan serupa ini berarti melarang orang yang berlaku
boros membelanjakan harta, sehingga belanja yang dihamburkannya melebihi
kemampuan yang dimilikinya. Akibat orang yang semacam itu akan menjadi tercela,
dan dicemoohkan oleh handai-tolan serta kerabatnya dan menjadi orang yang
menyesal karena kebiasaannya itu akan mengakibatkan dia tidak mempunyai
apa-apa.
Dari ayat ini dapat
dipahami bahwa cara yang baik dalam membelanjakan harta ialah membelanjakannya
dengan cara yang layak dan wajar, tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros.
Adapun
keterangan-keterangan yang didapat dari hadis-hadis Nabi dapat dikemukakan
sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan ahli hadis
yang lain, dari Ibnu Abbas ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
ما عال من اقتصد
Artinya:
"Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat".
"Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat".
Imam Baihaqi meriwayatkan
sebuah hadis dari Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw
bersabda:
الإقتصاد في النفقة نصف
المعيشة
Artinya:
Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, separoh dari penghidupan.
Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, separoh dari penghidupan.
· Tafsir
/ Indonesia / Jalalain / Surah Al Israa' 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ
مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ
مَلُومًا مَحْسُورًا
artiya : “(Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu) artinya janganlah kamu menahannya dari berinfak secara keras-keras; artinya pelit sekali (dan janganlah kamu mengulurkannya) dalam membelanjakan hartamu (secara keterlaluan, karena itu kamu menjadi tercela) pengertian tercela ini dialamatkan kepada orang yang pelit (dan menyesal) hartamu habis ludes dan kamu tidak memiliki apa-apa lagi karenanya; pengertian ini ditujukan kepada orang yang terlalu berlebihan di dalam membelanjakan hartanya.
artiya : “(Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu) artinya janganlah kamu menahannya dari berinfak secara keras-keras; artinya pelit sekali (dan janganlah kamu mengulurkannya) dalam membelanjakan hartamu (secara keterlaluan, karena itu kamu menjadi tercela) pengertian tercela ini dialamatkan kepada orang yang pelit (dan menyesal) hartamu habis ludes dan kamu tidak memiliki apa-apa lagi karenanya; pengertian ini ditujukan kepada orang yang terlalu berlebihan di dalam membelanjakan hartanya.
B. TAFSIR AL-MISBAH MENGENAI AYAT-AYAT
SIKAP DAN PERILAKU KONSUMEN
1. Al-Baqarah
: 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا
طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu.”
Tidak semua yang ada
didunia ini otomatis halal untuk dimakan atau digunakan. Allah menciptakan ular
berbisa bukan untuk dimakan, tetapi antara lain untuk digunakan biasanya
sebagai obat, ada burung burung yang diciptakan Nya untuk memakan serangga yang
merusak tanaman ,dengan demikian tidak semua yang diciptakannya untuk dimakan
manusia, walau semua yg diciptakannya untuk kepentingan mausia, karena itu
allah memerintahkan untuk memakan yang halal saja.
Makanan halal adalah
makanan yang tidak haram, pada ayat ini menjelaskan bahwa perintah kepada
seluruh manusia untuk tidak memakan makanan yang haram. Namun demikian tidak
semua makanan yang halal otomatis baik. Karena yang dinamakan halal ada 4 macam
wajib, sunah, mubah, dan makruh.
Ada halal yang baik
menurut si A yangis sesuai dengan kondisi tertentunya. Ada yang kurang baik
untuknya dan baik buat orang lain,. Ada makanan yang halal tetapi tidak
bergizi. Yang diperintahkan adalah yang halal lagi baik.
2. Al-Maidah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang
telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Ulama tidak melihat
adanya hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Tetapi al-Biqa’I yang menekuni
bahasan hubungan antar ayat menulis bahwa setelah dalam ayat yang lalu Allah
memujirahbah atau rasa takut kepada Allah yang mendorong
upaya menjauhkan diri dari gemerlapan duniawi, karena memang hal ini baik,
tetapi lanjut Al-Biqa’I dalam prakteknya sering kali pelakunya terlalu ketat
sampai-sampai meninggalkan yang mubah (dibolehkan) padahal manusia adalah
makhluk lemah, sehingga sering kali kelemahan menghadapi keketatan itu
mengantar kepada kegagalan bersama. Itu sebabnya Islam datang , melarang
pengetatan beragama seperti itu, dengan menganjurkan moderasi – tidak
melebihkan tidak juga mengurangi. Dalam konteks itulah setelah menyinggung
para ruhban yang meninggalkan gemerlapan duniawi, bahkan
mengharamkan atas diri meraka sekian banyak hal yang mubah atau halal, ayat ini
datang berpesan kepada orang-orang beriman : hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan, menghalangi diri kamu dengan jalan
bernadzar, atau sumpah, atau apa saja untuk melakukan apa-apa yang
baik, indah, lezat, atau nyaman yang telah Allah halalkan bagi
kamu, dan janganlah kamu memaksakan dirimelampaui batas kewajaran,
karena sesungguhnya Allah tidak menyukai yakni tidak
melimpahkan rahmat dan ganjaran-Nya kepada orang-orang yang melampaui
batas, walaupun pelampauan batas itu berkaitan dengan upaya
mendekatkan diri kepada-Nya, sebagaimana halnya orang-orang Nasrani yang
melakukan rahbaniyah dengan mengharamkan apa yang halal.
Ath-Thabari dan al-Wahidi
meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kedatangan seseorang kepada
Nabi SAW. Sambil berkata : “kalau saya makan daging, lalu saya terus akan
‘mendatangi’ wanita-wanita, maka saya mengharamkan atas diri saya daging”. Ayat
ini turun meluruskan pandangannya itu. Riwayat ini ditemukan juga dalam sunan
at-Tirmidzi. Riwayat lain yang sejalan dengan makna riwayat diatas menyatakan
bahwa sejumlah sahabat Nabi SAW berkumpul untuk membandingkan amal-amal mereka
dengan amal-amal Nabi SAW., dan akhirnya mereka berkesimpulan untuk melakukan
amalan-amalan yang berat. Ada yang ingin shalat semalam suntuk, ada yang tidak
akan menggauli wanita, dan ada juga yang akan berpuasa terus menerus. Mendengar
rencana itu Nabi SAW menegur mereka sambil bersabda : “sesungguhnya aku
adalah yang paling bertakwa diantara kalian, tapi aku shalat malam dan juga
tidur, aku berpuasa tetapi juga berbuka, dan aku kawin. Barang siapa yang
enggan mengikuti sunnahku (cara hidupku), maka bukanlah ia dari kelompok
(umat)ku” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Anas Ibn Malik)
Firman-Nya la
ta’tadu / jangan melampaui batas dengan bentuk kata yang
menggunakan huruf ta’ bermakna keterpaksaan, yakni
diluar batas yang lumrah. Ini menunjukkan bahwa fitrah manusia mengarah kepada
moderasi dalam arti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang wajar tidak
berlebih dan tidak juga berkurang. Setiap pelampauan batas adalah semacam
pemaksaan terhadap fitrah dan pada dasarnya berat, atau risih melakukannya.
Inilah yang di isyaratkan olehta’tadu.
Larangan melampaui batas
ini, dapat juga berarti bahwa menghalalkan yang haram, atau sebaliknya,
merupakan pelampauan batas kewenangan, karena hanya Allah SWT yang berwenang
menghalalkan dan mengharamkan. Pada masa jahiliyah kaum musyrikin
mengatasnamakan Allah mengharamkan sekian banyak hal yang halal, sebagaimana
akan terbaca dalam surah al-an’am. Itu agaknya yang menjadi alasan sehingga
ayat in dimulai dengan panggilan ya ayyuhaalladzinan amanukarena
penghalalan dan pengharaman seperti itu bertentangan dengan keimanan.
Selanjutnya, karena itu pula sehingga ayat berikut yang Masih berkaitan erat
dengan ayat ini memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah SWT karena
orang-orang mukmin selalu bertaqwa kepada-Nya, dengan mengikuti apa yang
diperintahkan-Nya, menjauhi larangan-Nya, menghalalkan apa yang halal dan
mengharamkan yang haram.
3. Al-israa
: 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى
عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya
: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Dan janganlah engkau
enggan mengulurkan tanganmu untuk kebaikan seakan akan engkau jadikan tanganmu
terbelenggu dengan belenggu kuat yang terikat ke lehermu sehingga engkau tak
dapat menhulurkannya dan janganlah juga engkau terlalu mengulurkannya sehingga
berlebih lebihan karena itu menjadikanmu duduk tidak dapat berbuat
apa apa lagi tercela oleh dirimu sendiri atau orang lain karena boros, berlebih
lebihan dan menyesal tidak memiliki kemampuan karena telah kehabisan harta.
Kata mashuran terambil
dari kata hasara yang berarti tidak
berbusana, telanjang aatau todak tertutup. Seseorang yang tidak memakai
tutup kepala dinamai hasiru ar ras. seseorang yang keadaannya
tertutup dari segi rezeki adalah yang memiliki kecukupan sehingga ia
tidak perlu berkunjung kepada orang lain dan menampakkan diri untuk meminta, karena
itu berarti ia membuka kekurangan aibnya.
Ada
juga ulama yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata hasir yang
digunakan untuk binatang yang tidak mampu berjalan, sehingga mandek tinggal
ditempat. Demikian juga pemboros, pada akhirnya akan mandek dan tidak mampu
melakukan aktivitas, baik untuk dirinya sendiri apalgi orang lain sehingga
terpaksa hidup tercela.
Ayat
ini menjelaskan salah satu hikmah yang sangat luhur , yakni kebajikan yang
merupakan pertengahan antara dua ekstrim. Keberanian adalah pertengahan antara
kecerobohan dan sifat pengecut. Kedermawanan adalah pertengaahn antar
pemboroosan dengan kekikiran.
Sementara ulama
menjadikan kata maluman/tercela merupakan dampak dari kekikiran,
sedang mahsuran/tidak memiliki kemampuan adalah dampak dari
pemborosan.
B. AYAT
AYAT LAIN TENTANG SIKAP DAN PERILAKU PRODUSEN
Allah SWT dalam
firman-Nya dalam Al – Qur’an surat Al Israa' ayat 26 & 27
Artinya : Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.
Artinya : Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.
Dari kedua ayat diatas
dapat disimpulkan bahwa seorang konsumen muslim tidak perlu mengeluarkan semua
pendapatan bersihnya untuk semua barang dan jasa.
C.
BAB
III
KESIMPULAN
Pada sikap dan
perilaku konsumen yang harus kita lakukan sesuai ajaran islam kitab
kita Al qur’an adalah
· Memakan
yang halal lagi baik untuk kesehaatannya
· Dapat
membedakan mana yang halal dan yang haram
· Konsumen
dengan tidak konsumsi berlebih lebihan
· larangan
berlaku bakhil.
· Tidak
berlaku boros membelanjakan harta
· Dilarang
menghalangi diri dengan jalan bernadzar, atau sumpah.
· Tidak
mengharamkan apa yang dihalalkannya
· Keberanian
adalah pertengahan antara kecerobohan dan sifat pengecut.
· Kedermawanan
adalah pertengaahn antar pemboroosan dengan kekikiran.
· mengharuskan
makanan yang baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor atau pun menjijikan
sehingga merusak selera. Makan dan minumlah dari semua yang bersih dan
bermanfaat. Baik bersih dari segi hukumnya yaitu yang halal, dari segi
makanannya harus higienis dan bergizi, maupun bersih dalam mendapatkannya.
· Seorang
konsumen muslim tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi barang dan jasa,
tetapi juga kepuasan yang diperintahkan oleh Allah SWT juga harus kita penuhi
sebagai seorang muslim yang bertaqwa. Hal ini berarti kepuasan seorang muslim
tidak hanya sebagai fungsi jumlah barang yang dikonsumsi tetapi juga sebagai
fungsi dari sedekah.
· seorang
muslim dilarang mengkonsumsi barang yang diharamkan oleh islam seperti alkohol,
daging babi, berjudi dan lain sebagainya.
· Seorang
muslim dilarang menerima atau membayar bunga dari berbagai pinjaman.
· Seorang
konsumen muslim harus juga memperhitungkan konsumsinya
· Kepemilikan,
perbedaan
· Riba
macam maacam, definisi
· Harta
dan zakat
· Sikap
dan perilaku konsumen
Makan dan Minum Secukupnya
رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ
حَسْبُ الْآدِمِّي لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ غَلَبَتْ الْآدَمِيِّ
نَفْسُهُ فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ.
Artinya:
Rasulullah SAW bersabda:” Anak Adam tidak mengisi penuh suatu
wadah yang lebih jelek dari perut,cukuplah bagi mereka itu beberapa suap makan
yang dapat menegakan punggungnya, apabila kuat keinginannya maka jadikanlah
sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, sepertiga untuk dirinya atau
udara.”[9]
Koreksi Hadits: Makan Sebelum Lapar, Berhenti
Sebelum Kenyang
Kami tidak mengetahui
mengenai keabsahan hadits ini, yaitu hadits:
ﻧَﺤْﻦُ ﻗَﻮْﻡٌ ﻻَ ﻧَﺄْﻛُﻞُ ﺣَﺘَّﻰ ﻧَﺠُﻮْﻉَ
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺃَﻛَﻠْﻨَﺎ ﻻَ ﻧَﺸْﺒَﻊُ
“Kami
adalah kaum yang tidak makan sampai kami lapar dan jika kami makan maka kami
tidak (sampai) kenyang.”
Ucapan ini biasa
didengar dari sebagian tamu padahal di dalam sanadnya terdapat kelemahan.
Mereka (sebagian tamu) biasa mengatakan: Dari Nabi shallallahu alaihi wasallam
bahwa beliau bersabda,
“Kami adalah kaum yang
tidak makan sampai kami lapar dan jika kami makan maka kami tidak (sampai)
kenyang.”
Maksudnya mereka ini
makan secara sederhana. Makna hadits ini benar akan tetapi ada kelemahan di
dalam sanadnya. [Sisi kelemahannya bisa dilihat dalam Zaad Al-Ma’ad dan
Al-Bidayah karya Ibnu Katsir]
Amalan seperti ini baik
untuk (tubuh) manusia, yaitu jika dia makan karena sudah lapar atau memang
butuh untuk makan. Jika dia makan, maka dia tidak berlebihan dalam makan dan
tidak sampai kenyang yang berlebih. Adapun jika kenyangnya tidak memudharatkan
dirinya maka itu tidak mengapa.
Orang-orang di zaman
Nabi shallallahu alaihi wasallam dan zaman selainnya, mereka makan dan mereka
kenyang. Hanya saja yang dikhawatirkan (mendatangkan mudharat) adalah kekenyangan
yang berlebihan. Nabi shallallahu alaihi wasallam pada sebagian kesempatan
pernah diundang untuk menghadiri walimah (resepsi pernikahan), beliau juga
sering menjamu tamu dan menyuruh mereka makan, lalu mereka pun makan sampai
mereka kenyang. Kemudian setelah itu barulah beliau dan para sahabat yang
tersisa ikut makan.
Di zaman beliau
shallallahu alaihi wasallam diriwayatkan bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari
pernah mengundang Nabi shallallahu alaihi wasallam -pada hari Al-Ahzab yaitu
hari perang Khandaq- untuk menyantap hidangan berupa hewan sembelihan yang
kecil yang disantap bersama dengan sedikit gandum. Maka Nabi shallallahu alaihi
wasallam memerintahkan untuk memotong roti (gandum) dan daging tersebut, lalu
beliau memanggil para sahabat sepuluh-sepuluh orang untuk makan. Maka mereka
pun makan sampai mereka kenyang kemudian mereka pergi, kemudian datang lagi 10
orang berikutnya, dan demikian seterusnya. Maka Allah memberkahi gandum dan
daging tersebut, sehingga semua sahabat yang jumlahnya banyak waktu itu bisa
makan seluruhnya, namun tetap saja masih banyak makanan yang tersisa sehingga
mereka membaginya kepada tetangga-tetangga mereka.
Pada suatu hari Nabi
shallallahu alaihi wasallam juga pernah memberi minum susu kepada ahlu
ash-shuffah (para sahabat yang tinggal di masjid, pent.). Abu Hurairah berkata,
“Maka aku memberikan minum kepada mereka sampai hilang dahaga mereka. Kemudian
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Minumlah wahai Abu Hurairah,” Abu
Hurairah menjawab, “Saya sudah minum.” Kemudian beliau bersabda, “Minum lagi,”
maka saya kembali minum. Kemudian beliau bersabda, “Minum lagi,” maka saya
minum lagi. Kemudian saya berkata, “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, saya
sudah tidak kuat lagi (untuk minum).” Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam
mengambil minuman yang tersisa lalu beliau alaihishshalatu wassalam minum.”
Hal ini menunjukkan
bolehnya kenyang dalam makan dan minum, hanya saja jangan sampai dalam taraf
membahayakan.
No comments:
Post a Comment